Jakarta – Peneliti dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia Teguh Dartanto, menyebut program perlindungan sosial pemerintah dalam rangka pengentasan kemiskinan ekstrem di Indonesia sudah cukup adaptif. Dekan FEB UI ini mencontohkan bentuk keadaptifan program itu terlihat saat pandemi Covid-19 melanda Indonesia.
“Friendly speaking saya harus jujur mengatakan itu, bahwa kita di tahun 2020 ketika ada Covid-19, kita juga melakukan perluasan dari jaminan, programnya dari sisi cover-nya ditambah dan juga jenisnya. Itu artinya memang kita cukup adaptif terhadap perubahan-perubahan itu,” ujar Teguh dalam Forum Akademisi TNP2K-IBER di Hotel Grand Mercure, Jakarta Pusat, Kamis, 15 Desember 2022.
Saat pandemi melanda, masyarakat mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan pokok karena pembatasan sosial hingga kehilangan pekerjaan, pemerintah kemudian membuat program bantuan pangan non tunai (BPNT) berupa pembagian sembako. Selain itu, pemerintah juga memberikan stimulus berupa bantuan tunai untuk UMKM agar bisa bertahan di masa pandemi.
“Artinya, sebenarnya kita sudah cukup adaptif terhadap merespon berbagai perubahan yang ada,” kata Teguh.
Meski sudah cukup adaptif merespon kebutuhan masyarakat agar tak masuk dalam jurang kemiskinan ekstrem, Teguh menyebut masih ada potensi terjadinya inclusion error dan exclusion dalam program bantuan sosial. Menurut Teguh, hal itu terjadi lantaran beberapa faktor.
Pertama, potensi exclusion dan inclusion error terjadi akibat unavailable program atau ketidaksediaan program perlindungan. Namun, menurut Teguh untuk saat ini pemerintah sudah menanganinya melalui fkeksibelitas program perlindungan sosial.
Penyebab kedua adalah program pengkaveran perlindungan sosial yang kecil. Lalu yang ketiga adalah quick welfare mobility atau perpindahan status seseorang dari miskin biasa ke miskin ekstrem atau sebaliknya secara cepat. Perpindahan yang cepat ini, menurut Teguh, membuat pendataan masyarakat harus sebaru mungkin agar penyaluran bantuan sosial tepat sasaran.
Dalam dua tahun saja, 72,5 persen dari penduduk miskin di tahun 2005 itu sudah keluar kemiskinan hanya dalam waktu dua tahun. Sedangkan yang ga miskin, 6,6 persen dari 7.000 sekian itu hanya dalam waktu dua tahun jadi miskin. Artinya kalau pakai data base lama, dalam dua tahun welfare mobilitas orang sudah sangat tinggi sekali. Kalau mobilitas sudah tinggi,. mau dengan targeting apapun, mau dengan metodelogi apapun, pasti akan misleading terus, jadi ini ada kebutuhan dengan updating data,” kata Teguh.