Jakarta – Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) bersama Indonesia Bureau of Economic Research (IBER) menggelar diskusi bersama akademisi dari berbagai kampus untuk membahas program percepatan penghapusan kemiskinan ekstrem di Indonesia. Dalam diskusi bertajuk “Menuju 0% Kemiskinan Ekstrem di Indonesia: Tantangan, Kebijakan, dan Solusi untuk Pertumbuhan Inklusif di Indonesia” yang digelar di Hotel Grand Mercure, Jakarta Pusat pada Kamis, 15 Desember 2022, sejumlah akademisi dan peneliti dari dalam dan luar negeri ikut terlibat.
Untuk pembicara dari luar, TNP2K dan IBER mengundang Profesor Rema Hanna dari Harvard University, Profesor Sabina Alkire dari Oxford University. Sementara dari dalam negeri sejumlah pembicara dari Universitas Indonesia, IPB, UNAIR, UGM, hingga Universitas Andalas hadir dalam acara tersebut. Acara juga turut dihadiri oleh Direktur IBER Dr. M. Chatib Basri, Penasihat Kebijakan Senior TNP2K Dr. Sudarno Sumarto, dan Sekretaris Eksekutif TNP2K Dr. Suprayoga Hadi.
“Forum ini merupakan bagian dari komitmen TNP2K untuk menyediakan semacam wadah kolaborasi antara Pemerintah dan pelaku non-pemerintah, dalam hal ini adalah pihak akademisi untuk mempercepat penghapusan kemiskinan ekstrem,”ujar Deputi Bidang Dukungan Kebijakan Pembangunan Manusia dan Pemerataan Pembangunan Sekretariat Wakil Presiden selaku Sekretaris Eksekutif TNP2K, Suprayoga Hadi, dalam sambutannya.
Suprayoga menerangkan penghapusan kemiskinan ekstrem merupakan perintah langsung dari Presiden Joko Widodo seperti yang tertuang dalam Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2022 Tentang Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem yang terbit pada bulan Juni 2022.
Suprayoga berharap diskusi yang melibatkan akademisi nasional dan internasional ini dapat memicu peningkatan penelitian penghapusan kemiskinan ektrem yang ditargetkan menyentuh angka 0 persen pada tahun 2024.
Lebih lanjut, Suprayoga menyebut diskusi ini menjadi penting dan mendesak karena pemerintah hanya memiliki tenggat dua tahun untuk menghapus kemiskinan ekstrem yang pada saat ini masih berada di angka 2 persen. Ia menyebut pemerintah memerlukan upaya secara “keroyokan” agar target terebut tercapai.
“Wakil Presiden selaku Ketua TNP2K selalu menyatakan di beberapa kesempatan bahwa penghapusan kemiskinan ekstrem ini harus dilakukan melalui upaya kolaborasi, sinergi, juga konvergensi yang melibatkan berbagai pihak yang kita kenal dengan nama penta helix,” ujar Suprayoga.
Pada kesempatan yang sama, Prof. Sabina dari Oxford University mengungkapkan, Indonesia dinilai sebagai negara yang berhasil mengangkat 8 juta penduduk Indonesia dari garis kemiskinan dalam rentang waktu yang cukup singkat, yakni 5 tahun.
“Sejumlah indikator kemiskinan multidimensi (MPI) di antaranya kebutuhan atas kecukupan nutrisi, pemenuhan pendidikan dasar, akses listrik hingga sanitasi menunjukan penurunan yang signifikan. Ini membuat Indonesia menjadi negara kedua tercepat setelah Cina yang berhasil menurunkan banyak indikator kemiskinan multidimensi,” tambahnya.
Atas keberhasilan tersebut, sejumlah akademik dalam negeri sepakat bahwa perlu ada peningkatan kapasitas dan wewenang dari TNP2K, apalagi dengan target tenggat waktu penghapusan kemiskinan ekstrem yang tersisa dua tahun lalu.
Abdillah Ahsan, akademisi UI yang hadir di sesi tematik 2 bahkan mengusulkan, perlu dipertimbangkan agar kedudukan TNP2K menjadi lembaga setingkat kementerian di bawah koordinasi langsung Presiden melalui payung hukum Peraturan Pemerintah.
“Dengan mendudukkan TNP2K sebagai lembaga yang berada langsung di bawah Presiden, diharapkan membuat lembaga ini memiliki wewenang yang lebih kuat dalam sinkronisasi, koordinasi, dan optimalisasi program pengentasan kemiskinan ekstrem,” pungkasnya.